Kilatan blitz menerpa tubuh Monik yang Baru turun dari taksi. Sesaat gadis cantik itu membiarkan perhatian pers terarah pada dirinya. Kamera wartawan mengabadikan senyum riangnya serta penampilannya dalam pasta selebritis.
"Anda tidak datang dengan partner?" Salah seorang wartawan bertanya dan disusul pertanyaan-pertanyaan sejenis dari rekan-rekannya. Namun tidak digubris Monik yang langsung sap menerobos masuk ke dalam ruang pertemuan.
Penyelenggara pesta menyambutnya gembira. Monik sibuk menyalami panitia dengan senyum renyahnya. Mengucapkan selamat meski Monik hanya berbasa-basi saja. Ya, pesta yang dihadirinya tak jelas tujuannya. Memang disebutkan sebagai pesta syukuran seusai menyukseskan suatu festival akbar. Resminya begitu tapi kalangan para selebritis pun maklum, acara pesta dikembangkan menjadi ajang pertemuan bisnis, hura-hura, pamer mode, menggosip dan sebagainya yang identik dengan kehidupan para bintang.
Sebagai model yang sedang naik daun, Monik tak ketinggalan menghadirinya. Dia harus menjalin pergaulan agar keberadaan dirinya diperhitungkan dan tak sekedar diterima saja. Maka itu penampilannya dipersta pun sebaik-baiknya.
"Monik...."
"Hai!"
Monik didekati seorang gadis yang langsung merangkulnya dan membisikkan gosip yang didengarnya.
"Mereka membicarakan kamu dan tahukah kamu apa topiknya?"
"Kamu tidak laku-laku juga. ha... ha... ha..."
Monik nyengir. Kecut sekali! Sialan! Omongan yang asal Baja. Mengapa mereka meributkan kesendiriannya seperti wartawan-wartawan yang merubungnya di depan gedung.
"Ah, kalian memang perhatian sekali padaku. Justru aku datang ke sini untuk cari cowok yang nganggur. Eh, kalau ada cowok yang datang sendiri, kasih tahu gue ya!" bisiknya mengerling. Seketika rekan Monik tertawa geli.
"Gila lu! Mana ada cowok yang datang sendiri kecuali bujang lapuk atau oom-oom senang, mau lu sama model begituan?"
"Ah, payah lu, masak tega nggak kasih harapan sama gue, Eh, ngomong-ngomong gue makan dulu ya," Monik tak berlama-lama menggosipkan dirinya sendiri. Dia tahu kemana mencari Rika, manajernya. Lihatlah, dengan sekali pandang, Monik mendapatkan Rika di sudut ruangan, sendirian dan asyik makan tanpa mempedulikan sekelilingnya.
"Rik! Gosip pertama yang kudengar dari mereka adalah tidak lakunya aku! Sialan, kurang kerjaan mereka. Aku tidak punya pacar mereka meributkan dan menjadikan masalah nasional!"
"Jangan ditanggapi, Nik"
"Kamu ini selalu meremehkan."
"Seandainya kamu pacaran mereka juga akan meributkan, mencari-cari ketidakserasian di antara kalian dan sebagainya. Jadi, mereka memang tak habis-habisnya, menggosipi orang lain. Jangan termakan pancingan mereka, Nik. Kalau kamu merasa direndahkan dan lantas menggandeng cowok untuk memamerkan daya pikatmu, aku yakin besok pagi koran-koran memberitakan dirimu dengan nada miring."
"Betul juga kamu, Rika."
"Makanlah. Jangan pikirkan lagi. Kariermu lebih penting daripada penjodohanmu, terutama untuk saat ini," saran Rika meyakinkan. Monik berlalu dan segera antri mengambil makanan.
Seseorang menyapanya, dilayaninya dengan setengah hati. Resiko profesi. Meski tak menyukai orang-orang tertentu, Monik harus tetap ramah pada mereka.

